Tulisan Konferensi I APIO

Kata Pengantar Proceeding
Temu Ilmiah Konferensi I APIO: “Meretas Gagasan untuk Mengembangkan Kompetensi Individu & Daya Saing Organisasi di Indonesia”

Kita saat ini sedang melalui sebuah periode besar perubahan sejarah. Perubahan, yang biasa disebut globalisasi, mempengaruhi kita tidak terbatas di satu wilayah tertentu saja, tetapi menjangkau hampir setiap tempat. Perubahan ini bukannya semakin dapat dikendalikan, sebagaimana harapan banyak orang akan tatanan masyarakat yang stabil, dunia kita tampaknya justru berada diluar kendali kita. Meminjam istilah Anthony Giddens, sebuah dunia yang lepas kendali (Runaway World).

Perubahan yang demikian menghadapkan kita pada resiko dan ketidakpastian yang tidak pernah ditemui siapapun pada masa-masa sebelumnya. Banyak resiko dan ketidakpastian baru yang mempengaruhi kita, tidak jadi soal di mana kita hidup dan tidak peduli betapa istimewanya kehidupan kita atau betapa miskinnya kita. Resiko dan ketidakpastian yang kita hadapi telah berubah dari resiko alami menjadi resiko buatan (manufactured risk), yang dirasakan baik di aras negara bangsa, masyarakat, organisasi maupun di aras individu.

Perubahan-perubahan yang di luar kendali ini memaksa kita untuk berpikir ulang mengenai segala sesuatunya. Nilai, struktur kekuasaan, tradisi masyarakat, penguatan komunitas lokal hingga paradigma berpikir kita. Demikian pula dengan psikologi industri dan organisasi, sebagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan manusia, diharapkan berpikir ulang mengenai berbagai konsepsi dan membangun konvensi-konvensi baru atas diri manusia.

Pada satu sisi organisasi diharapkan mempunyai daya saing dalam menghadapi persaingan global yang semakin ketat. Tetapi disisi lain berbagai tuntutan dari para stakeholder yang mengharapkan semakin besarnya tanggung jawab sosial kepada masyarakat sekitar. Pemampatan ruang waktu telah mengikis dominasi dari salah satu pihak, masing-masing pihak mengalami penguatannya, masing-masing membentuk konstelasi kekuatan baru. Berpikir dan bertindak dengan asumsi-asumsi lama pada konstelasi baru hanya akan membuat kita menjadi orang konservatif, orang-orang yang tergopoh-gopoh mencari tas belanja ketika yang lainnya telah pulang dari pasar.

Berbagai pandangan dan hasil penelitian dalam bidang Psikologi Industri dan Organisasi dalam proceeding ini diharapkan akan memberikan stimulasi kognitif dan afektif kita untuk kemudian bertindak dengan asumsi-asumsi baru. Perubahan terus menerus dalam cara pikir dan cara pandang dalam perubahan yang tak terprediksikan dan dalam era persaingan global dituntut agar kehidupan organisasi dapat terus bertahan, tumbuh dan berkembang untuk memenangkan persaingan.

Panitia

Dibawah ini sejumlah makalah temu ilmiah Konferensi I APIO dapat anda unduh secara cuma-cuma. Anda bisa kutip dengan mencantumkan sumber dari web APIO ini.

SUMBER DAYA MANUSIA* INDONESIA DALAM ERA GLOBALISASI
Ashar Sunyoto Munandar (Pendiri, Ketua APIO pertama)

Pengantar
Pada saat ini Indonesia masih tetap berusaha untuk mengatasi berbagai krisis yang menerpa bangsa kita. Krisis ekonomi, meskipun sudah tampak tanda-tanda perbaikan, krisis sosial, angka pengangguran masih tinggi (6% dalam tahun 2000, Anwar Nasution, 2002). Krisis moral yang meliputi krisis hukum, proses pengadilan diragukan kesungguhan dan keadilannya, pemberian upeti kepada penguasa, pejabat untuk mendapatkan dukungan dari mereka, dst.

Dalam keadaan penuh krisis ini proses kehidupan bangsa tetap berjalan. Perusahaan kecil, menengah dan besar tetap berupaya untuk mempertahankan hidup usaha mereka sekali gus berupaya untuk meningkatkan hasil usahanya.

Tantangan berusaha tidak saja datang dari dalam negeri tetapi juga dari luar negeri. Pasar dalam negeri bukan merupakan monopoli dari perusahaan-perusahaan Indonesia tetapi juga merupakan tempat penjualan barang-barang dan jasa dari perusahaan-perusahaan asing yang berada baik di dalam maupun di luar Indonesia. Sebaliknya pasar-pasar diluar negeri merupakan pasar-pasar dimana perusahaan-perusahaan Indonesia dapat menjual barang-barang dan jasa mereka. Pimpinan perusahaan-perusahaan yang cerdas, berkemampuan dan bersemangat didukung oleh sumber daya manusia mereka masing-masing akan dapat menentukan dan mencapai keberhasilan kiprah mereka masing-masing. Berapa jumlah sumber daya manusia kita, bagaimana kemampuan dan ciri mereka dan bagaimana membuat mereka sumber daya manusia yang andal, cakap dan berkemampuan tinggi akn dibahas dalam bab-bab berikut ini.
Unduh disini Makalah ASM JAdi

PERAN STRATEGI SDM DALAM MENGHADAPI PERSAINGAN GLOBAL
Andreas Budihardjo, Institut Manajemen Prasetya Mulia

Abstrak
Era globalisasi dan perdagangan bebas membuat persaingan bisnis semakin ketat. Ditingkat makro, pemerintah perlu meningkatkan kompetensi SDM melalui program peningkatan mutu pendidikan. Sedang ditingkat mikro, perusahaan perlu mengadopsi visi, misi dan strategi yang tepat yang didukung oleh strategi SDM dan budaya perusahaan yang tepat pula. Pada dasarnya strategi SDM berkaitan dengan tiga aktivitas SDM: pengadaan, pemeliharaan serta pelatihan dan pengembangan. Ketiga aspek tersebut perlu mengacu pada komponen organisasi, seperti misalnya strategi, budaya perusahaan dan struktur agar mendukung keefektifan perusahaan. Strategi dan perencanaan SDM perlu didukung oleh nilai-nilai kreativitas, layanan, continuous learning dan inovatif. Konsep Learning organization seyogianya diaplikasi dan dikembangkan untuk mengantisipasi tantangan lingkungan internal dan eksternal. Artikel ini pada dasarnya membahas peranan strategi SDM dalam menghadapi era globalisasi agar perusahaan mampu bertahan dan berkembang.
Kata kunci: Globalisasi, learning organization, continuous learning, empowerment.
Unduh dengan klik di sini
Makalah 01_01_10 Andreas

MEMAHAMI ORGANISASI DALAM ERA MILLENIUM [Suatu tinjauan teoritis – spekulatif]
Ino Yuwono, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Pendahuluan
Era yang sekarang merupakan suatu era perubahan yang sangat cepat. Dalam era ini kata kunci adalah “
Change” Seperti yang dikatakan oleh seorang konsultan organisasi “If survival is the aim, change is the game.” [Fitzgerald, Laurie A.,]. Era yang sekarang, yang juga dikenal sebagai era globalisasi merupakan suatu era baru dalam peradaban manusia. Kecepatan informasi, super computer, tehnologi, dan ilmu pengetahuan yang berkembang pesat menyebabkan sadar kembalinya manusia pada ucapan Heraclitus “satu-satunya yang kekal adalah perubahan, anda tidak pernah menapakkan kaki anda kedua kalinya pada sungai yang sama”

Managemen perubahan Change Management tidak lagi merupakan suatu “buzz word or fad” melainkan sudah merupakan kewajiban bagi setiap organisasi, setidak-tidaknya dalam wacana organisasi. Mata ajaran Managemen perubahan Change Management dapat dipastikan terdapat dalam kurikulum-kurikulum sekolah bisnis. Namun, harus diakui keberhasilan dalam pelaksanaan Change Management tidak terlalu sukses. Tehnik-tehnik Change Management seperti Organizational Reengineering, Organizational Redesign, Survey feedback, Process consultation …….. etc dapat dijumpai dalam setiap wacana mengenai organisasi. Setiap tehnik baru dalam melakukan perubahan yang ditawarkan oleh konsultan atau teoritisi organisasi akan segera mendapat tempat dalam pikiran para manager organisasi, meskipun tidak didukung oleh data penelitian yang akurat mengenai keberhasilannya.

Hasil yang kurang memuaskan dalam melakukan perubahan organisasi menimbulkan suatu rasa ingin tahu “apakah ada sesuatu yang kurang tepat dalam pemahaman organisasi selama ini?”. Mungkin diperlukan suatu cara pandang baru mengenai organisasi yang dapat membuat pemahaman yang lebih “baik” tentang organisasi dalam era perubahan ini.
Unduh di
Makalah 02_11_19 Ino

PROSES PEMBENTUKAN PERILAKU PRODUKTIF PADA BUDAYA KERJA ORGANISASI
Dr., Drs. Psi., Fendy Suhariadi, MT, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Abstrak
Pada dasarnya hasil akhir dari semua program penyempurnaan produktivitas adalah munculnya perilaku produktif. Sebagaimana model teoritis, inteligensia dan motivasi adalah dua faktor dasar yang mempengaruhi munculnya perilaku produktif. Faktor inteligensia dan motivasi membentuk perilaku produktif melalui semangat penyempurnaan (sebagai intervening variabel) disamping juga ada variabel lain yaitu karakteristik pekerjaan dan variabel personal sebagai variabel moderatornya. Inteligensia adalah kompetensi dasar seseorang untuk mengolah sebuah informasi, sedangkan motivasi adalah dorongan kerja yang dikarenakan motiv sosial, motiv pengakuan dan motiv intrinsik (Teori Motivasi kerja Herzberg). Sedangkan variabel semangat penyempurnaan terdiri dari semangat bersama mencapai tujuan, disiplin penyempurnaan, kepuasan sebagai anggota organisasi, dan daya tahan kegagalan. Variabel Perilaku Produktif terdiri dari dua bentuk perilaku yaitu Perilaku Efektif dan Perilaku Efisien.

Pada awalnya alat ukur penelitian diuji-cobakan pada 204 orang dari PT. Eterindo Wahanatama Tbk. Pengujian validitas alat ukur menggunakan analisis faktor dan pengujian reliabilitas alat ukur menggunakan alpha Cronbach. Setelah alat ukur teruji, penelitian dilakukan di PT. Texmaco Jaya Tbk., dengan sample 336 orang. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa hanya variabel motivasi saja yang signifikan mempengaruhi semua variabel semangat penyempurnaan. Sedangkan inteligensia berpengaruh signifikan hanya pada semangat bersatu (salah satu variabel semangat penyempurnaan). Perilaku Efektif dapat dibentuk melalui variabel disiplin penyempurnaan (negatif) dan daya tahan kegagalan dengan ragam ketrampilan, umpan balik, pendidikan, pengalaman dan pangkat (negatif) sebagai variabel moderator, sementara itu Perilaku Efisien dapat dibentuk melalui variabel kepuasan atas keterlibatan sebagai anggota dengan identitas tugas, umpan balik, jenis kelamin dan pangkat sebagai variabel moderator.

Kesimpulannya, Perilaku Produktif terdiri dari Perilaku Efektif dan Perilaku Efisien dapat dibentuk melalui Motivasi Kerja. Pengaruh Motivasi Kerja melalui variabel Semangat Penyempurnaan sebagai variabel mediator, juga Karakteristik Pekerjaan dan Karakteristik Personal sebagai variabel moderator.
Unduh di
Makalah 03_20_44 Fendy

STUDI EKSPLORASI KEPRIBADIAN WIRAUSAHAWAN TAS DAN KOPER TANGGULANGIN DENGAN MENGGUNAKAN ROLE CONSTRUCT REPERTORY TEST (REP TEST)
Oleh Budi Setiawan & Helmi Firdaus
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Abstrak
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh peran penting wirausahawan dalam mendorong kemajuan ekonomi dan demokrasi suatu negara. Sehingga dibutuhkan program pengembangan yang simultan, komprehensif dan berorientasi pada wirausahawan kecil. Studi mengenai wirausahawan mempunyai wilayah cakupan yang begitu luas, mulai persoalan keterampilan, tingkat pendidikan, latar belakang keluarga, budaya, dan kepribadian. Upaya ini dilakukan untuk mencari berbagai faktor yang mendorong seseorang untuk tumbuh sebagai seorang wirausahawan. Tetapi dalam penelitian ini akan lebih difokuskan pada kepribadian yang dimiliki oleh wirausahawan.

Pemilihan obyek studi kepribadian wirausahawan dilatarbelakangi pertimbangan bahwa faktor-faktor internal lebih mampu menjelaskan tumbuh kembangnya wirausahawan. Tumbuhnya wirausahawan mencakup wilayah yang begitu luas dengan berbagai macam latar belakang lingkungan yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa penjelasan mengenai wirausaha¬wan dengan faktor eksternal hanya berguna sejauh faktor-faktor internal diketahui.

Penelitian ini akan membatasi pendekatan kepribadian yang digunakan pada pendekatan konstruktivis. Pembatasan ini didasarkan pertimbangan bahwa kebutuhan untuk mengetahui faktor-faktor internal yang digunakan oleh wirausahawan Indonesia dalam menghadapi situasi-situasi lokal mereka. Pemahaman mengenai faktor-faktor ini akan dapat menjelaskan mengapa wirausahawan Indonesia dapat berkembang ditengah perbedaan situasi dan lingkungan yang dihadapi oleh wirausahawan di lokal-lokal lainnya, terutama barat. Berangkat dari pendekatan konstruktivis dan landasan teoritik George Kelly, maka dalam penelitian ini akan menggunakan Role Construct Repertory Test (Rep Test) sebagai instrumen untuk menggali data penelitian.

Penelitian dilakukan pada wirausahawan Tas & Koper Tanggulangin dengan menggunakan metode purposive sampling dan snowball sampling dengan kriteria wirausahawan pada tahap bekerja keras dan pertumbuhan. Pada tahap bekerja keras, ditandai dengan waktu kerja wirausahawan relatif panjang, hampir seluruh pekerjaan ditangani sendiri dan wirausahawan belajar membagi antara waktu kerja dan waktu keluarga. Pada tahap pertumbuhan, wirausahawan melakukan penilaian untuk perluasan usaha, pembelajaran keterampilan dalam hubungan antara manusia, adanya pendelegasian tugas, dan adanya manajer.

Metode pengumpulan data menggunakan Role Construct Repertory Test (Rep Test) yang dibuat berdasarkan manual dari Stewart yang diadaptasi dari Rep Test standar dari Kelly. Analisa data menggunakan teknik analisis isi dengan melakukan kategorisasi atas konstruk-konstruk yang didapatkan. Untuk menguji kredibilitas data digunakan teknis triangulasi dengan memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data penelitian untuk pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut. Dalam penelitian ini data penelitian diperiksa oleh ahli wirausahawan dan dibandingkan dengan hasil penelitian lain.

Penelitian ini menghasilkan 11 kategori yaitu kategori Kebutuhan untuk Berprestasi (17 konstruk), Kebutuhan untuk Berafiliasi (16 konstruk), Keterampilan Manajemen (15 konstruk), Pengambilan Resiko (11 konstruk), Kreativitas (11 konstruk), Kepercayaan (11 konstruk), Kebutuhan untuk Berkuasa (9 konstruk), Interaksi Sosial (6 konstruk), Sikap Asketis (6 konstruk), Kebutuhan akan Kemandirian, (5 konstruk) dan Pengalaman (3 konstruk).
Unduh di
Makalah 04_45_56 Bukik

PERAN KECERDASAN SPIRITUAL (SPIRITUAL QUOTIENT)
DAN KECERDASAN DALAM MENGHADAPI RINTANGAN (ADVERSITY QUOTIENT) UNTUK MENINGKATKAN ETOS KERJA SDM

Tekad Wahyono Fakultas Psikologi Universitas Wangsa Manggala

Abstrak
Era globalisasi tidak hanya ditandai oleh dominasi teknologi informasi dan ekonomi yang berbasis pengetahuan, tetapi juga SDM yang dituntut mampu mengembangkan diri secara proaktif, menjadi manusia pembelajar dan bekerja keras. SDM yang mampu bersaing di era globalisasi adalah yang mempunyai etos kerja tinggi. Mereka menganggap bekerja sebagai rahmat, amanah, sebuah panggilan, sarana aktualisasi diri, ibadah, seni, kehormatan dan pelayanan. Jika SDM mempunyai ciri-ciri tersebut, maka perusahaan akan memperoleh SDM yang mempunyai keikhlasan dan ketangguhan dalam menghadapi persaingan global. Agar memperoleh SDM yang mempunyai etos kerja tinggi, salah satu hal yang harus diperhatikan oleh perusahaan adalah identifikasi dan pengembangan kecerdasan spiritual dan kecerdasan dalam menghadapi rintangan. SDM yang mempunyai kecerdasan spiritual tinggi akan memaknai pekerjaan sebagai sebuah panggilan hati. Pengembangan kecerdasan dalam menghadapi rintangan dapat menciptakan SDM yang tangguh dan tabah dalam menghadapi persaingan. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk memahami peran kecerdasan spiritual dan kecerdasan dalam menghadapi rintangan untuk meningkatkan etos kerja SDM.
Kata kunci: kecerdasan spiritual, kecerdasan dalam menghadapi rintangan, etos kerja
Unduh di
Makalah 05_57_64 Tekad Wahyono

PERANAN KECERDASAN INTELEKTUAL, EMOSIONAL, DAN SPIRITUAL DALAM KOMPETENSI MEMIMPIN PERUBAHAN ORGANISASI
Noviaty Kresna D., S.Psi., M.Si. dan Bayu Airlangga Putra S.E, M.M
Fakultas Ekonomi Universitas Surabaya

Abstrak
Tulisan ini merupakan pandangan bahwa diperlukan “landasan” kecerdasan dalam diri individu untuk memimpin perubahan organisasi, landasan tersebut berkaitan dengan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual, yang merupakan kesatuan pembentuk kompetensi individu dalam memimpin perubahan organisasi.

Latar belakang tulisan ini, berawal dari suatu kenyataan bahwa saat ini badan usaha di seluruh penjuru dunia menghadapi banyak hambatan dan peluang, akibat globalisasi ekonomi, kemajuan teknologi dan sosial. Dalam globalisasi, bekerja suatu kekuatan makroekonomi yang begitu kuat, dan kekuatan ini bisa tumbuh lebih kuat lagi selama dasawarsa mendatang.
Kunci untuk menciptakan dan mempertahankan organisasi pada abad kedua puluh satu dengan sukses dengan mengadakan perubahan besar-besaran dalam organisasi, melakukan proyek rekayasa ulang, penyusunan kembali strategi merger, perampingan, usaha-usaha peningkatan kualitas, dan pembaharuan budaya.

Untuk melakukan perubahan-perubahan dalam organisasi, diperlukan kompetensi khusus untuk memimpin perubahan organisasi. Kompetensi tersebut harus dimiliki oleh setiap orang di seluruh bagian organisasi.

Dari hasil studi literatur ditemukan bahwa beberapa badan usaha yang sukses memimpin perubahan, selalu terdapat orang-orang yang memiliki landasan kecerdasan (1) intelektual; (2) emosional; dan (3) spiritual yang lebih unggul daripada orang lain pada umumnya. Adanya gabungan kecerdasan tersebut pada individu, akan mempermudah individu untuk memperoleh kompetensi, dalam bentuk (1) pengetahuan; (2) ketrampilan; (3) kemampuan; dan (4) sikap untuk memimpin perubahan organisasi.
Kesimpulannya kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual berperan penting dalam menciptakan kompetensi memimpin perubahan organisasi.
Unduh di
Makalah 06_65_74 Novianti dan Bayu

PENTINGNYA KECERDASAN EMOSI BAGI KEPEMIMPINAN YANG EFEKTIF
Nono Hery Yoenanto, S.Psi, Fakultas psikologi universitas airlangga

Pendahuluan
Dewasa ini telah terjadi pergeseran kepemimpinan di bandingkan era tahun 80-an dan 90-an yang akan berdampak pada pergeseran di bidang ekonomi global, kompetisi, dan kebutuhan akan sumber daya manusia. Pergeseran itu antara lain: (1) pentingnya dan peran pemimpin yang memiliki visi. Konsep pemimpin yang memiliki visi banyak didominasi oleh pemimpin diera tahun 1980-an dan tahun 1990-an. Era sekarang dan akan datang, pemimpin tidak hanya sekedar memiliki visi, tetapi harus bisa melaksanakan visi secara sukses untuk menjamin bahwa visi itu akan menjadi suatu kenyataan, (2) berkaitan dengan perubahan pada sumber daya manusia, peran pemimpin yang memiliki kecerdasan emosi semakin meningkat dan sesuatu yang tidak bisa ditawar. Dengan kata lain, kecerdasan emosi adalah sesuatu yang penting untuk pemimpin diera milenium (Duning, 2000).

Ilustrasi dari kedua kecenderungan diperlukan perilaku kepemimpinan dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) untuk melakukan pelaksanaan visi, pemimpin harus bisa mengidentifikasi visi yang akurat, sehingga pemimpin harus juga berperan sebagai pemimpin yang efektif. Pemimpin harus dapat melakukan bermacam-macam tugas (multi task) dan melihat secara jernih proses yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas-tugasnya, (2) kecerdasan emosi penting bagi seorang pemimpin. kemampuan pemimpin yang terpenting tidak hanya sebagai komunikator yang baik, tetapi juga dapat mengembangkan suatu gaya komunikasi yang dapat membentuk dan mengatur hubungan yang bermacam-macam. Ketrampilan pemimpin yang lain di era milenium adalah mengatasi konflik yang merupakan salah satu aspek kompetensi dalam kecerdasan emosi. Peningkatan jumlah konflik adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari dalam suatu organisasi dewasa ini. Diera globalisasi ini kecerdasan emosi memainkan peranan yang penting dalam semua bidang kehidupan dan semua bidang pekerjaan. Banyak bukti penelitian mengungkap bahwa keberhasilan seseorang dalam kehidupan tidak lagi mendasarkan pada aspek kognitif yaitu berupa inteligensi (IQ), tetapi aspek afektif yaitu kecerdasan emosi (EQ) yaitu kemampuan menahan diri, mengendalikan emosi, memahami emosi orang lain, motivasi tinggi, bersikap kreatif, memiliki empati, bersikap toleransi dan sebagainya yang merupakan karakteristik yang jauh lebih penting dari sekedar inteligensi.
Unduh di
Makalah 07_75_83 Nono

KECENDERUNGAN INOVASI, SUATU PEMBEDA ANTARA WIRAUSAHA DAN NON-WIRAUSAHA
Dr. Benedicta P. Dwi Riyanti, Fakultas Psikologi, Universitas Atma Jaya Jakarta

Abstrak
Penelitian ini berusaha menjelaskan kecenderungan inovasi pada wirausaha dan non-wirausaha. Hal ini berkaitan dengan pandangan bahwa keinovasian, kreativitas, dan wirausaha sangat terkait erat. Wirausaha yang didefinisikan sebagai orang yang memiliki gagasan (idea man) dan manusia kerja (man of action) sering dikaitkan dengan ciri orang yang inovatif atau kreatif, orang yang mendorong perubahan yang sangat penting dalam menemukan kemungkinan-kemungkinan baru. Berdasarkan argumen tersebut, Kirton (1976) mengemukakan Teori Adapsi-Inovasi berfokus pada gaya kreativitas kognitif yang berbeda pada individu-individu (alat ukurnya disebut KAI = Kirton Adaption Innovation). Dengan mendefinisikan adapsi-inovasi sebagai dimensi dasar perilaku, Kirton mengatakan bahwa setiap orang dapat ditempatkan dalam satu kontinum yang mulai dengan kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik (to do things better) hingga ke kemampuan untuk melakukan sesuatu secara lain (to do things differently). Akhir dari kontinum itu adalah perilaku adaptor atau inovator.

Inventori ini sudah divalidasi di banyak negara dan organisasi, tetapi upaya untuk menghubungkan KAI dengan wirausaha dan bukan wirausaha belum banyak dilakukan. Salah satu yang menghubungkan KAI dengan wirausaha dan non-wirausaha adalah Hyrsky & Kangasharju (http\www.babson.edu\papers98/VIII /VIII_B/VIII_Btext.htm), yang menemukan skor KAI wirausaha berbeda secara signifikan dengan skor KAI non-wirausaha di Finlandia. Studi kali ini mencoba melihat perbedaan skor KAI antara wirausaha dan non- wirausaha di Indonesia, khususnya Jakarta.

Dari penelitian terhadap wirausaha dan non-wirausaha (karyawan perguruan tinggi swasta dan karyawan organisasi MLM) diperoleh hasil adanya perbedaan yang signifikan dalam skor KAI. Hasil ini mendukung hasil penelitian Hyrsky & Kangasharju (http\www.babson.edu\papers98/VIII/VIII_B/VIII_Btext.htm) bahwa wirausaha memiliki kecenderungan untuk lebih inovatif dalam memecahkan masalah daripada bukan wirausaha.
Unduh di
Makalah 08_84_94 Yanti

ACTIVE SENSITIVITY: KOMPETENSI STRATEGIS DALAM PERSAINGAN GLOBAL
Dr. Phil. Hana Panggabean, Psi., Fakultas Psikologi Universitas Atmajaya

Abstrak
Dalam era globalisasi ini, semakin dirasakan perlu untuk mengidentifikasi kompetensi andalan bagi individu yang terlibat dalam kerjasama antara budaya, dikenal sebagai intercultural competence. Salah satu kompetensi yang dianggap signifikan bagi keberhasilan penyesuaian diri dan pencapaian tugas individu dalam kerjasama antar budaya adalah intercultural sensitivity (ICS). Sebagai bangsa yang multikultural dengan sejarah pertemuan budaya yang sudah sangat panjang, bangsa Indonesia menghadapi keragaman budaya sebagai kenyataan sehari-hari. Oleh karena itu kerjasama antar budaya sudah terjadi dalam konteks nasional dimana berbagai etnik Indonesia bercampur dan terlibat dalam kelompok-kelompok kerja. Hal ini terutama terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta. Dengan demikian adalah menarik untuk mengetahui bagaimana bentuk ICS yang ditampilkan orang Indonesia, yang diasumsikan sudah berpengalaman dalam interaksi antar budaya, dalam konteks kerjasama antar budaya dengan bangsa lain. Untuk menggali karakteristik ICS orang Indonesia ini dilakukan penelitian dengan fokus kelompok kerja Indonesia –Jerman. Metode penelitian adalah analisis video kelompok-kelompok kerja monokultural Indonesia dan monokultural Jerman, serta kelompok kerja campuran Indonesia-Jerman. Selain itu juga dilakukan wawancara setengah terstruktur pada para praktisi dalam kerjasama Indonesia-Jerman. Analisis yang digunakan bersifat kualitatif dengan menggunakan analisis isi dari data-data di atas. Hasilnya menunjukkan bahwa salah satu karakteristik ICS orang Indonesia, dinamakan active sensitivity, mengacu pada bentuk kepekaan yang luwes, kreatif, dan berorientasi pada hasil (result-oriented). Active sensitivity bersifat konstruktif dan produktif bagi pencapaian tugas. Apabila kompetensi ini dapat dikembangkan secara sistematis, active sensitivity dapat menjadi salah satu modal bangsa Indonesia dalam menghadapi persaingan global dalam dunia kerja.
Unduh di
makalah 09_95_103 hanna panggabean

PENGGUNAAN PRIBADI SPIDER PLOT DALAM PENILAIAN PERFORMANCE UNTUK PERENCANAAN KARIR INDIVIDU
Dr. Pribadiyono, Ir., MS, Direktur Program Pascasarjana Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Abstrak
Salah satu penyebab kegagalan dalam Manajemen Sumber Daya Manusia di banyak perusahaan adalah kesalahan adanya penempatan tenaga kerja. Pada kondisi ini, manajemen tidak menempatkan orang yang tepat pada tempat atau pekerjaan yang tepat. Kesalahan penempatan ini merupakan akibat dari kesalahan penilaian terhadap tenaga kerja yang direncanakan menduduki posisi, bagian, kelompok atau divisi tertentu.

Seperti kita ketahui bahwa setiap posisi, bagian, kelompok atau divisi dalam perusahaan memiliki kualifikasi yang harus dipenuhi oleh calon tenaga kerja. Para calon tenaga kerja harus memenuhi syarat tertentu. Syarat yang sifatnya individual ini biasanya disebut sebagai atribut. Untuk itu harus ada semacam penilaian sebelum seseorang diterima masuk ke dalam posisi, bagian, kelompok atau divisi suatu perusahaan tertentu. Permasalahannya adalah bahwa hingga saat ini alat atau metode yang banyak digunakan dalam kegiatan penilaian ini terkesan rumit dan sulit untuk diterapkan.

Pada kesempatan ini akan diperkenalkan satu metode alternatif penilaian performance individu yang lebih mudah diimplementasikan, yakni Metode Jaring Laba-Laba (Pribadi Spider Plot). Metode ini mempunyai keunikan tersendiri. Dibandingkan dengan metode yang lain, Pribadi Spider plot lebih mudah dilakukan oleh setiap organisasi, dari yang berskala kecil hingga organisasi yang berskala besar. Aplikasi Pribadi Spider Plot adalah berupa pemetaan (mapping) atribut-atribut yang dimiliki oleh setiap individu atau calon karyawan dibandingkan dengan standart atribut yang disyaratkan oleh organisasi atau perusahaan. Oleh karenanya ada aktivitas benchmark dalam proses pemetaan.

Satu hal yang menarik adalah bahwa dalam satu tampilan, Pribadi Spider Plot dapat menunjukkan kepada kita, performance dari individu yang dinilai, sekaligus kelebihan dan kelemahannya. Dengan demikian manajemen akan dapat lebih mudah dan lebih cepat dalam mengambil keputusan penerimaan atau penolakan. Selain itu, hasil pemetaan bahkan dapat merupakan informasi yang sangat berguna bagi manajemen untuk membantu perencanaan karier karyawan.
Unduh di
Makalah 10_104_114 Pribadiono

MEMADU MODEL “MIND SYNERGY” DENGAN “HR COMPETENCE MANAGEMENT” DALAM MENCIPTAKAN SDM UNGGUL DAN PROFESIONAL
Drs.Ec. Johny Rusdiyanto, MM, Fakultas Ekonomi Universitas Surabaya

Abstrak
Hasil analisis studi yang dilakukan oleh Drucker, Kim and Mauborgne, Christensen dan Hamel & Prahalad mengungkap adanya dua keunggulan bersaing (distinctive competitives) badan usaha yang tercipta melalui kontribusi SDM. Kedua keunggulan ini menjadi indikator kompetensi SDM yang unggul dan profesional. Upaya peningkatan kompetensi SDM dimulai dengan peningkatan variabel knowledge yang berpengaruh pada variabel ability, skill dan attitude melalui model “HR Competence Management”. Peningkatan kompetensi SDM ini akan meningkat manakala terjadi peningkatan kualitas pola berpikir dari SDM yang bersangkutan. Hal tersebut dapat terwujud manakala SDM mampu mengoptimalkan kerja otak secara terus menerus. Melalui model “Mind Synergy” yang mengacu pada konsep The Whole Brain Management yang disosialisasikan oleh Ned Herrmann, diyakini bahwa SDM akan menjadi lebih kreatif dan inovatif bila mampu mensinergikan kerja otak kiri dan kanan yang dimiliki. Melalui perpaduan kedua model ini, peningkatan kompetensi SDM untuk menjadi SDM yang unggul dan profesional menjadi lebih mudah direalisasikan
Kata Kunci: Mind Synergy, Kompetensi SDM, knowledge, ability, skill, attitude
Unduh di
Makalah 11_115_122 Jhonny Rusdiyanto

MEMPERSIAPKAN INDIVIDU DI ORGANISASI UNTUK MENGHADAPI PERUBAHAN
Dra. Psi. Wustari H Mangundjaya MOP, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Manusia merupakan aset penting dalam proses perubahan
Wustari H Mangundjaya, Fakultas Psikologi Indonesia

Pengantar
Dengan perkembangan teknologi serta globalisasi maka terjadi berbagai perubahan yang cepat di segala bidang, baik pada bidang ekonomi, sosial, politik maupun budaya. Hal ini menimbulkan berbagai sikap atau reaksi individu dalam menghadapi berbagai perubahan tersebut. Sikap tersebut dapat tertampil secara positif (menerima) maupun negatif (menolak). Hal ini antara lain dipengaruhi oleh kesiapan individu dan organisasi dalam menghadapi suatu perubahan. Karena sikap manusia terhadap perubahan turut mempengaruhi efektivitas dari perubahan itu sendiri baik bagi individu tersebut sendiri maupun organisasi (Eales-White, 1994). Selain itu pula, hanya manusialah yang dapat membuat terjadinya suatu perubahan, baik itu sukses atau tidak perubahan tersebut (Smith, 1996). Manusia sangat berperan dalam proses maupun keberhasilan suatu perubahan, (Wilson, 1994, Smith, 1996, Eales-White 1994, dan Galpin, 1996). Oleh karenanya mempersiapkan individu serta mengembangkan berbagai kompetensinya diperlukan untuk dapat membantu dalam merencana, mengantisipasi sikap, reaksi, serta dampak dari suatu proses perubahan.
Unduh di
Makalah 12_123_132 Wustari

THE RELATIONSHIP BETWEEN CONFLICT RESOLUTION STYLES AND VALUE SYSTEM AMONG INDONESIAN MANAGERS
Rostiana D. Nurdjayadi, Faculty of Psychology – Tarumanagara University

Abstract
The present study investigated the relationship between conflict resolution styles and value system among Indonesian managers. There are five styles in conflict resolution (avoidance, accommodative, competitive, collaborative, compromise) that can be chosen by manager based on their value system categories, that are pragmatic, moralistic and affective. Value system was argued as a general plan to solve the conflict and theoretically, the conflict perception (positive or negative) is perceived as moderator variable between value system and conflict resolution. In order to know the relationship among those variables, this research used chi square and Pearson product moment correlation techniques to analyze data from 248 managers. Data collecting was held from November 2000 – march 2001. Generally the results showed that the dominant value system of Indonesian managers was pragmatic, and collaborative style was mostly the chosen alternative. Unfortunately there was no significant correlation found between value system and conflict perception, as well as conflict resolution styles. However there was a significant correlation between conflict perception and conflict resolution styles.
Unduh di
Makalah 13_133_140 Rostiana

HUBUNGAN RASA SALING PERCAYA DENGAN IKLIM TRANSFORMASIONAL DALAM UPAYA PENGEMBANGAN KOMPETENSI ANGGOTA ORGANISASI
Dra. Petrina Faustine, MM, MSc., Teknik Manajemen Industri ITB

Pendahuluan
Organisasi perusahaan terdiri dari sekumpulan anggota, yang saling berinteraksi dan memiliki kompetensi di bidangnya masing-masing. Pengem¬ba¬ngan kompetensi anggota perusahaan diperkirakan dapat meningkatkan kemam¬puan perusahaan untuk bersaing di bidang industrinya masing-masing. Keberhasilan pihak manajemen perusahaan dalam pengembangan kompetensi anggota perusahaannya, terutama dipengaruhi oleh adanya hubungan rasa saling percaya di antara anggota perusahaan, yang merupakan salah satu bentuk emosi, yang semakin disadari keterlibatannya, untuk menghasilkan interaksi yang produktif dari para anggota perusahaan.
Unduh di
Makalah 14_141_147 Petrina

KOMITMEN ORGANISASI: PERSPEKTIF PSIKOLOGI SOSIAL
Drs. Psi. Suryanto, MSi., Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Latar Belakang
Organisasi seperti perusahaan, pada dasarnya merupakan suatu bentuk kelompok sosial, yang terdiri dari beberapa anggota yang mempunyai persepsi bersama tentang kesatuan mereka (Smith), masing-masing anggota mendapat reward (Bass), untuk mencapai tujuan bersama (Mills) dan diantara anggota mengalami interdependensi tugas (Fiedler dikutip dari Shaw, 1979:4-9).

Kalau suatu kelompok sudah dibentuk dan disadari bersama adanya interdependensi dan saling memberikan reward dan mempersepsi diri sebagai satu kesatuan dalam mencapai tujuan, tentunya problem organisasi atau perusahaan sebagai suatu kelompok sosial tidak akan terjadi.

Kenyataannya adalah banyak organisasi atau perusahaan dalam perkembanggannya mengalami problem yang muncul akibat munculnya kelompok-kelompok kecil yang tidak membuat organisasi semakin dinamis, melainkan malah menjadikan keruntuhan organisasi tersebut. Perbedaan peran, harapan, kepentingan, interdependensi, dan persepsi para anggota kelompok menjadi sumber dari konflik internal yang mengancam kelangsungan hidup kelompok tersebut. Sebut saja misalnya terjadinya pemogokan karyawan, absensi yang tinggi, dan tingkat turn-over yang tidk terkendalikan. Semuanya itu merupakan gejala yang muncul dan disebabkan oleh ketidakpuasan karyawan (anggota) terhadap organisasinya / perusahannya (kelompok).

Lalu mengapa hal di atas bisa terjadi? Kalau sejak awal, komitmen kerja sudah ada, dan disadari oleh semua anggota di perusahaan itu, maka gejala negatif seperti itu tidak akan terjadi, dan kegagalan dalam mencapai tujuan organisasi dapat terhindarkan. Kalau pun toch ada perbedaan, hal itu tidak semakin membuat organisasi tidak jalan, melainkan tambah semakin dinamis.

Tulisan tentang komitmen organisasi berikut ini muncul karena terinspirasi dari sejumlah gejala yang diakibatkan adanya kategorisasi sosial di perusahaan yang berdampak pada menurunnya komitmen organisasi. Dengan kategorisasi ini, diantara anggota (buruh dan pengusaha) organisasi memiliki motivasi yang beda dalam bekerja dan tidak ada titik temunya, sehingga konfik internal tidak terhindarkan.

Oleh karena itu pada karya tulis ini, faktor konsepsi tentang kelompok, identitas sosial, dan kohesivitas kelompok di perusahaan yang muncul akibat dari kategorisasi diri menjadi topik yang penting untuk dipahami dalam kaitannya dengan komitmen kerja.
Unduh di
Makalah 15_148_155 Suryanto

MEMBANGUN KOMITMEN ORGANISASI MELALUI PENDEKATAN RELATIONSHIP MARKETING BAGI PENINGKATAN DAYA SAING ORGANISASI
Yudi Sutarso & Tatik Suryani, STIE Perbanas Surabaya

Abstrak
In general, organizational commitment is a psychological commitment by someone to an organization. Such a commitment will be manifested in the degree of his/her activities in the organization. The degree of someone’s commitment, on one hand, will also influence the increase of motivation, involvement, loyalty, job performance, and the pro social behavior in an organization. On the other hand, the higher degree of someone’s commitment to the organization can also reduce the degree of absence and turnover. Some approaches to building commitment have been researched and asserted by some intellectuals, either from the discipline of human resource management or psychology. Relationship marketing (RM), a relatively new approach in marketing practice, can be used as a perspective in building the organizational commitment. The existence of RM in a micro condition is triggered by the more blurring limitation between market and industry, the increasing market fragmentation, the shorter product life-cycle and so on. Beside it, it is also induced by the service worth economy, the increase of high competition, and the development of technology. The important principle in RM is how to attract, maintain and enhance relationship with customers, suppliers, employees, regulators and other parties related to the business. The orientation developed is to strengthen long-term relationships and loyalty. To implement the discipline of this marketing science for use in other disciplines is necessary to be done, especially of how to manage human resources in an organization. Question to be raised are such as, how RM clarifies the attracting, maintain and increases long-term relationship, and how a commitment can be built through RM, how the implication of implementing RM toward human resource management so that it can increase the organization’s competitive advantage.
Key words: commitment, relationships marketing, retention, participation.
Unduh di
Makalah 16_156_166 Yudi Sutarso

HUBUNGAN ANTARA KESESUAIAN PREFERENSI INDIVIDU DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KOMITMEN ORGANISASI DAN KINERJA KARYAWAN
Rayini Dahesihsari, Psi., M. Psyh, Fakultas Psikologi Universitas Atmajaya

Abstrak
Fokus dari studi ini adalah untuk menyelidiki hubungan antara kesesuaian preferensi individu dan iklim organisasi dengan komitmen organisasi dan kinerja karyawan. Kerangka berpikir tentang pentingnya kesesuaian antara karakteristik individu dan organisasi (Kristof, 1996) diimplementasikan dalam studi ini dalam bentuk kesesuaian antara preferensi individu dengan iklim organisasinya, yang diasumsikan akan memiliki kaitan dengan komitmen karyawan terhadap organisasi dan kinerja mereka. Model pengukuran iklim organisasi yang multi dimensi (James & Sells, 1981) dan model tiga komponen komitmen organisasi (Meyer & Allen, 1997) digunakan dalam studi ini agar dapat menggali hubungan penting yang potensial antara dimensi iklim organisasi yang spesifik dan komponen komitmen organisasi yang spesifik pula. Studi ini dilakukan di sebuah universitas swasta di jakarta, dengan responden sejumlah 247 karyawan. Analisis regresi ganda digunakan untuk menganalisis data, yang diolah dengan bantuan SPSS versi 9.1.

Hubungan positif ditemukan secara signifikan antara kesesuaian preferensi individu dan setiap dimensi iklim organisasi dengan komitmen afektif. Kesesuaian antara preferensi individu dengan dimensi-dimensi iklim organisasi menggambarkan pengalaman kerja yang menyenangkan, yang berpotensi untuk mengembangkan komitmen afektif pada karyawan. Sebaliknya, kesesuaian individu dengan dimensi peran dan dimensi pemimpin dalam iklim organisasi memiliki hubungan signifikan yang berlawanan dengan komitmen berkesinambungan (continuance commitment). Berarti komitmen berkesinambungan akan lebih sulit berkembang dalam kondisi kerja dimana kesesuaian antara preferensi individu dengan iklim peran dan iklim pemimpinnya lebih tinggi.

Bertentangan dengan asumsi awal, komitmen organisasi tidak ditemukan memiliki hubungan yang signifikan dengan kinerja karyawan dalam studi ini. Selain kemungkinan disebabkan oleh tingkat akurasi dari pengukuran kinerja yang diterapkan dalam organisasi, efek dari komitmen terhadap kinerja kemungkinan juga lebih banyak dipengaruhi oleh variabel lain, seperti tingkat pendidikan dan afek positif.
Unduh di
Makalah 17_167_177 Rayini

IKLIM KERJA DEWAN KELUARGA MASJID DI TIGA PERGURUAN TINGGI NEGERI DI BANDUNG
Lelywati I. Suryana dan Sukarti Hilmi Manan, Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung

Abstrak
Tulisan ini merupakan hasil studi perbandingan tentang kesenjangan antara iklim kerja yang diharapkan dan dirasakan oleh para anggota organisasi masjid pada tiga PTN Bandung (DKM UNPAD, YPM ITB, DKM IKIP), pada tahun 1999. Adapun derajat perasaan para anggota organisasi masjid serta kondisi iklim kerja masing-masing organisasinya tergambarkan pada profil iklim kerja yang diperoleh melalui kuesioner iklim kerja dari Litwin dan Meyer; untuk selanjutnya diolah dalam bentuk profil iklim kerja yang mencakup enam dimensi yaitu: conformity, responsibility, standards, rewards, clarity dan team spirit.

Untuk melihat kesenjangan iklim kerja yang dirasakan dan diharapkan digunakan uji t-student, yang ternyata berbeda secara signifikan pada taraf α 0.05. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada DKM UNPAD dimensi conformity, responsibility dan clarity sangat signifikan, sementara dimensi team spirit signifikan. Pada YPM ITB menunjukkan bahwa dimensi responsibility, rewards, clarity dan team spirit signifikan, sedangkan pada DKM IKIP menunjukkan hanya dimensi conformity yang signifikan.
Unduh di
Makalah 18_178_183 Lelywati

KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DALAM PERUSAHAAN DAN PRODUKTIVITAS KERJA
Sylvia Kurniawati Ngonde, I Wayan Carma & Steven Tanumiharja, Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala

Abstrak
Komunikasi yang terjadi dalam perusahaan memiliki nilai sosial dan budaya yang dibentuk para pelakunya untuk mencapai misi dan visi. Interaksi sosial dari struktur jabatan yang ada dapat membentuk hubungan seimbang atau sebaliknya, dengan adanya pemahaman latar belakang budaya yang terwujud pada pola perilaku tertentu. Oleh karena itu, hubungan manusia dalam perusahaan dapat membangun keberadaan relasi sosial yang kokoh dengan pendekatan afektif dan intensif, didasarkan pola interaksi antar budaya yang heterogen. Kondisi tersebut, dapat meminimalkan hambatan berkomunikasi untuk menterjemahkan perbedaan maksud dan pola interaksi individu dalam mewujudkan hasil suatu tujuan tertentu.

Penggunaan komunikasi dalam perusahaan memerlukan kemandirian untuk membangun proses pemaparan ide dan menjalin relasi yang kokoh dengan latar belakang budaya yang telah dimiliki setiap individu. Selain itu pula, berkomunikasi di dalam perusahaan memerlukan variasi berinteraksi secara verbal dan non verbal dengan menggunakan pola budaya yang telah dimiliki perusahaan. Adanya intensitas yang dalam untuk berkomunikasi bagi setiap individu bermanfaat membentuk pemahaman bersama, supaya dapat mewujudkan tujuan. Di samping itu, pengembangan relasi yang dinamis antar individu, dapat menumbuhkan pengertian dan melaksanakan perubahan budaya yang tercermin pada wujud bahasa dan perilaku. Kondisi tersebut, memudahkan individu untuk membentuk jaringan yang bersifat heterogen dari struktur sosial, jabatan dan latar belakang budaya.

Makalah ini mendeskripsikan tentang komunikasi antar budaya dalam perusahaan yang efektif untuk dapat menghasilkan produktivitas kerja yang optimal. Oleh karena dengan perkembangan dunia usaha yang cepat dan luas, tanpa batas jarak wilayah atau daerah, serta bebas waktu; memerlukan pemahaman dan penerapan interaksi sosial dengan fokus pada komunikasi yang bersifat multi budaya secara tepat.
Unduh di
Makalah 19_184_190 Silvia

PSIKOLOG “KURSI MALAS”KAH KITA?
Lieke E.M.Waluyo, Pasca Sarjana Psikologi Industri dan Organisasi Universitas Gunadarma

Dimasa mendatang Indonesia akan berhadapan dengan persaingan global yang menyebabkan daya saing perusahaan menjadi lebih benyak dalam hal kualitas maupun kuantitasnya. Dalam rangka persaingan ini organisasi/ perusahaan harus memiliki sumber daya yang tangguh. Sumber daya yang dibutuhkan untuk menjalankan perusahaan tidak dapat dilihat sebagai bagian yang berdiri sendiri-sendiri, tetapi harus dilihat sebagai suatu kesatuan dimana masing-masing unsur sebagai suatu kesatuan yang tangguh membentuk suatu sinergi. Dalam hal ini peran psikolog atau mereka yang mengambil keputusan tentang sumber daya manusia sangat menentukan.

Ilmu psikologi sebagai disiplin yang berkaitan dengan manusia, banyak digunakan dalam menjalankan perusahaan. Ada perusahaan yang melihat manusia sebagai aset yang maha penting, tetapi ada juga yang tidak. Berbagai konsep tentang manusia muncul dan ini menyebabkan bahwa berbagai pemikiran tentang manusia yang berkembang. Pada zamannya Taylor, salah satu tokoh mangement dimasa yang lalu, manusia dianggap sebagai mesin dimana gerakan-gerakannya dalam bekerja dapat diatur untuk meningkatkan produksi, sebagaimana mengatur mesin. Pandangan ini tidak berlangsung lama karena manusia memang bukan mesin dan tidak mau dianggap sebagai mesin. Perkembangan sistim sosioteknik lebih menghargai manusia dan membuat manusia diperlakukan lebih manusiawa dibandingkan dengan pada zaman Taylor. Istilah manusiawi makin berkembang dan akhir-akhir ini dikaitkan dengan kualitas kehidupan manusia. Peran psikolog atau mereka yang menangani manusia ditempat kerja sangat besar dalam meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Ditempat kerja yang dimaksudkan dengan kualitas kehidupan manusia ialah adanya kesempatan untuk mendapatkan kepuasan kerja dalam arti yang luas, yaitu menyangkut perolehan yang bersifat fisik maupun non fisik. Dengan singkat, keputusan-keputusan yang diambil tentang manusia ditempat kerjanya dapat meningkatkan atau menurunkan kualitas kehidupan pekerja.
Unduh di
Makalah 20_191_196 Lieke Wilarso

PENGARUH INTERDEPENDENSI TUGAS TERHADAP PENINGKATAN KINERJA KARYAWAN
Cholichul Hadi, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Latar Belakang Permasalahan
Kelompok karyawan yang meliputi 23% penduduk Jawa Timur (BPS,1998) kinerjanya perlu upaya-upaya perbaikan dari karyawan sendiri dan semua pihak, sehingga mereka dapat keluar dari kemiskinan. Pada kenyataannya cita-cita meningkatkan kinerja kelompok karyawan belum dapat diwujudkan. Kenyataan di lapangan, terutama di Kabupaten Sidoarjo, menunjukkan bahwa kinerja kelompok karyawan masih belum dapat bekerja sama terutama antaranggota dalam kelompok, antar subkelompok atau antarkelompok secara efektif dan efisien. Mereka masih bekerja sendiri-sendiri atau jika bekerja sama masih terbatas pada bidang tertentu saja. Mereka belum melakukan kerja sama antarkelompok atau antar subkelompok pada semua bidang (Lokakarya Pengembangan Manajemen Terpadu, LP2-NU dan LPPM UBAYA, 2000).

Kelompok karyawan di Lembaga Pembangunan dan Pengembangan Pertanian – Nadhalatul Ulama’ (LP2-NU), yang bekerja menanam tanaman perdagangan dan industri, kadang mengalami kerugian, khususnya di Kabupaten Sidoarjo. Rugi karena biaya yang dikeluarkan kelompok karyawan dari awal sampai akhir lebih besar dari pendapatan masa kerja. Kondisi ini diperparah oleh kelemahan kelompok karyawan yang memang belum dapat bekerjasama antaranggota kelompok, antarkelompok atau antarsubkelompok secara terus menerus, keseluruhan, sistematis sehingga kinerjanya kurang optimal.
Unduh di
Makalah 21_197_207 cholichul hadi

PILIH GAYA ATAU FUNGSI : KRITERIA EVALUASI KONSUMEN TERHADAP HP
Bertina Sjabadhyni, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Telepon selular merupakan sebuah produk teknologi yang dapat memberikan kepuasan dan manfaat bagi penggunanya baik dari segi fungsional maupun dari segi estetika. Jika kita mengamati perkembangan pangsa pasar telepon selular (selanjutnya disebut HP) ini lima tahun yang lalu, kondisi saat ini sudah jauh berbeda. Saat itu, HP hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu saja. Hal ini berkaitan dengan harganya yang saat itu dinilai mahal oleh konsumen kebanyakan. Selain itu, jenisnya pun terbatas,dan modelnya tidak menarik, serta ukurannya relatif besar dan cukup berat untuk digenggam atau dimasukkan saku. Namun, kondisi ini berubah drastis dalam dua tahun terakhir.

Saat ini semakin banyak produsen yang terlibat dan memunculkan merek-merek HP baru. Namun tidak hanya itu. Mereka pun melakukan berbagai inovasi produk maupun cara pemasaran untuk menjaring lebih banyak konsumen. Lebih hebatnya hal ini dilakukan dalam waktu yang relatif singkat dan dalam hitungan bulan. Cara pemasarannya pun menggunakan iklan yang menarik, disertai dengan hadiah yang disesuaikan dengan pangsa pasarnya. Sejalan dengan perkembangan ini, harganya pun semakin murah dan terjangkau oleh sebagian besar masyarakat. Hal ini menyebabkan HP tidak lagi dipandang sebagai produk yang istimewa dan hanya dimiliki oleh orang-orang atau kalangan tertentu saja. Saat ini setiap orang boleh jadi mampu memiliki HP sehingga menjadikan HP barang genggaman tidak saja para eksekutif dan direktur, tetapi juga supir dan pedagang pasar.

Perkembangan pasar HP yang sedemikian pesat akhir-akhir ini menyebabkan ada kelompok konsumen tertentu yang tetap ingin mempertahankan gengsinya, dan kemudian berusaha menyesuaikan dan mengganti (membeli baru) HP-nya. Kelompok konsumen ini nampaknya tidak mau dirinya disamakan dengan orang-orang kebanyakan, dan karenanya mereka pun tidak ingin HP yang dimilikinya sama seperti HP orang kebanyakan.

Dari pengamatan terhadap adanya gejala di atas, maka peneliti tertarik untuk mendalami kriteria apakah yang sesungguhnya digunakan oleh konsumen untuk memilih HP yang dibelinya, apakah mereka lebih mementingkan gaya atau fungsi HP. Dengan demikian, diharapkan penelitian ini dapat menjawab kriteria evaluasi apa saja yang digunakan oleh konsumen dan bagaimana urutan tingkat kepentingan dari masing-masing kriteria evaluasi tersebut.

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi produsen khususnya agar dapat mengembangkan produk yang sesuai harapan konsumen, dapat mengkomunikasikan ciri-ciri produk yang diharapkan kepada konsumen sasaran, serta dapat digunakan produsen (pemasar) untuk mempengaruhi kriteria evaluasi yang digunakan konsumen.
Unduh di
Makalah 22_208_213 Bertina

HUBUNGAN PERSEPSI MUTU LAYANAN, KEPUASAN KONSUMEN DAN
INTENSI MENGGUNAKAN JASA MASKAPAI PENERBANGAN

Drs. M. Fakhruddin, MA., Direktur Publikasi Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO) Pusat

Latar Belakang dan Penelitian Terdahulu
Memasuki era globalisasi ekonomi dunia, mau tidak mau, siap tidak siap para pelaku ekonomi Indonesia harus lebih meningkatkan produktivitas, efisiensi dan daya saingnya. Agar dapat bertahan hidup semua sektor perekonomian harus mempersiapkan diri menghadapi persaingan global ini, tidak terkecuali sektor perdagangan & jasa dan jasa perhubungan udara pada khususnya. Di sektor perhubungan udara, tekanan dari negara-negara maju agar Indonesia memberlakukan Open Sky Policy makin menguat dan hal ini mengindikasikan persaingan usaha di sektor jasa perhubungan udara di masa mendatang akan semakin tajam.

Kondisi perekonomian Indonesia yang dalam beberapa tahun terakhir ini sedang sangat terpuruk makin memperberat dunia usaha nasional. Di sektor jasa usaha penerbangan berjadwal kondisinya juga semakin memburuk. Krisis moneter yang menurunkan nilai rupiah ke level yang sangat rendah terhadap dollar memaksa maskapai penerbangan untuk menaikkan harga jual jasanya ke tingkat yang semakin tidak terjangkau oleh sebagian besar pengguna jasa penerbangan sebelumnya, karena banyak komponen biaya penerbangan harus dibiayai dalam mata uang dollar. Kenaikan harga tiket penerbangan makin memperkecil pangsa pasar jasa penerbangan berjadwal. Sebagian pengguna jasa mencari subtitusi moda pengangkutan lain seperti kereta api eksekutif yang layanannya makin membaik. Kompetitor lain adalah semakin bebasnya maskapai penerbangan asing beroperasi di wilayah udara Indonesia, sehingga pangsa pasar yang makin kecil harus lebih dijaga dan bila memungkinkan justru ditingkatkan dengan upaya yang lebih keras dan lebih besar oleh maskapai penerbangan nasional.

Pada masa-masa mendatang masing-masing manajemen maskapai penerbangan perlu menentukan strategi bisnis apa yang harus dipilih untuk dapat mempertahankan kelangsungan perusahaannya. Menurut Fornel (1992) ada dua pilihan strategi yang dapat diambil, yaitu strategi menyerang (offense) dan strategi bertahan (defense). Strategi menyerang memusatkan perhatian pada persaingan dengan besarnya pangsa pasar relatif terhadap pesaing (share of market relative to competitor) sebagai ukuran keberhasilan dan tujuan perubahan perilakunya adalah pengalihan pembeli (buyer switching). Strategi menyerang terdiri dari dua bentuk dasar yaitu merebut/memperoleh pelanggan baru (capture market share) dan meningkatkan pangsa pasar (increase market share). Sebaliknya pada strategi bertahan perhatian dipusatkan pada pelanggan dengan ukuran keberhasilan berupa tingkat dipertahankannya pelanggan (customer retention rate) dan tujuannya adalah menciptakan kesetiaan pembeli (buyer loyalty). Strategi bertahan juga terdiri dari dua bentuk dasar yaitu menciptakan halangan beralih (switching barrier) dan meningkatkan Kepuasan konsumen (customer satisfaction).

Pada umumnya perusahaan menerapkan kedua strategi tersebut secara simultan, dengan anggaran lebih banyak diperuntukkan membiayai strategi menyerang. Namun pada tingkat pertumbuhan usaha sangat rendah, seperti dialami dunia usaha jasa penerbangan nasional pada saat ini strategi bertahan merupakan pilihan yang perlu lebih diprioritaskan. Dari segi usaha dan biaya strategi bertahan juga lebih menguntungkan daripada strategi menyerang. Penelitian yang dilakukan Technical Assistance Research Programmes (TARP) menunjukkan buruknya customer service menyebabkan total beban kerja meningkat lebih dari 33,3 %; dan upaya untuk menarik pelanggan baru membutuhkan biaya 5 kali lebih besar daripada biaya mempertahankan pelanggan yang sudah ada (Peter, dalam Keaveney, 1995).

Penerapan strategi bertahan dengan menciptakan halangan pindah diharapkan dapat membuat usaha pelanggan untuk pindah atau membeli kepada penyedia jasa penerbangan lain lebih ‘mahal’. Mahal dalam usaha-usaha pencarian informasi, proses belajar, diskon untuk pelanggan setia, kebiasaan pelanggan, dipadukan dengan resiko finansial, sosial dan psikologis bagi pelanggan yang akan pindah atau membeli jasa kepada maskapai penerbangan lain atau moda angkutan lain. Kepuasan konsumen di sisi lain diupayakan untuk membuat maskapai pesaing harus ‘membayar mahal’ untuk dapat merebut atau mengambil pelanggan yang ada.

Kepuasan konsumen diyakini berkaitan erat dengan peningkatan penghasilan (revenue) perusahaan. Melalui peningkatan mutu layanan akan meningkatkan Kepuasan konsumen; konsumen yang puas cenderung untuk mengulang menggunakan jasa dari perusahaan dan mau membayar lebih mahal untuk jasa tersebut, lebih lanjut kedua hal tersebut akan meningkatkan penghasilan perusahaan (Zeithaml, Parasuraman & Berry, 1990; Dresner & Xu, 1995). Kepuasan konsumen dapat dipergunakan untuk memprediksi intensi bertingkah laku membeli kembali (Smith, 1998; Bolton & Drew 1991; Bitner 1990; Oliver & Swan 1989).
Unduh di
Makalah 23_214_224 Udin

MENINGKATKAN KINERJA PERUSAHAAN MELALUI PENGEMBANGAN BUDAYA ORGANISASI
Yanki Hartijasti, Magister Manajemen Universitas Tarumanagara

Abstrak
Organisasi yang efektif adalah organisasi yang memiliki budaya yang adaptif namun sangat konsisten dan dapat diprediksi serta tanggap pada keterlibatan individu, tetapi bertindak dalam konteks shared sense of mission (Denison, 1990). Artinya, keberhasilan para pengelola bisnis untuk meningkatkan kinerja perusahaannya sangat tergantung dari kesiapan mereka dalam mengintegrasikan situasi internal serta bertahan dan beradaptasi dengan lingkungan eksternal yang semakin kompetitif dan kompleks.

Konsep Denison yang digunakan dalam penelitian terhadap enam perusahaan lokal sekitar awal tahun 2001 mengungkapkan bahwa keenam perusahaan yang dibagi menjadi tiga kelompok memiliki sifat dominan yang berbeda (Asuransi Jiwa: konsistensi negatif, Asuransi Kerugian: keterlibatan positif, Pengelola Jalan Tol: konsistensi positif) karena harus disesuaikan dengan tantangan maupun ancaman dari lingkungan eksternal serta keunggulan dan kelemahan kondisi internal masing-masing perusahaan. Perbedaan sifat ini tidak berarti bahwa perusahaan dengan sifat dominan tertentu akan lebih unggul dari yang lain karena konsep ini menekankan bagaimana para manajemen puncak sebaiknya mengatasi kontradiksi-kontradiksi yang sering terjadi dalam mengelola perusahaan agar masing-masing sifat mengimbangi sifat lainnya sehingga kinerja perusahaan menjadi lebih efektif.

Pengintegrasian keempat sifat budaya ini adalah salah satu agenda penting yang harus dilakukan perusahaan-perusahaan di Indonesia karena dengan diberlakukannya AFTA (ASEAN Free Trade Area) pada tahun 2003, persaingan bisnis akan menjadi sangat berat. Perusahaan yang ingin sukses harus mulai mempertimbangkan untuk merubah paradigmanya dari hanya sebagai local player menjadi regional atau global player. Selain itu para manajemen puncak harus mengintrospeksi tingkat kesiapan perusahaan mereka yaitu tersedianya sumberdaya manusia berkompeten yang mampu bereaksi cepat terhadap perubahan lingkungan usaha yang dinamis dan budaya perusahaan yang menunjang seperti telah terciptanya koordinasi dan integrasi antar unit kerja, sistem informasi yang terintegrasi ke seluruh level karyawan, role modeling yang baik oleh figur pemimpin, serta sistem kontrol terhadap kekonsistenan implementasi sistem dan prosedur.
Unduh di
Makalah 24_225_230 Yanki

PENGARUH CORPORATE CULTURE, CUSTOMER ORIENTATION DAN CORPORATE INNOVATIVENESS TERHADAP CORPORATE PERFORMANCE:
Veny Megawati dan Siti Rahayu, Fakultas Ekonomi Universitas Surabaya

Abstrak
Tingginya tingkat persaingan di dunia bisnis membuat organisasi harus mempunyai startegi yang baik untuk merespon perubahan lingkungan yang sangat pesat. Hal ini dapat dicapai jika organisasi memiliki tingkat kompetensi yang tinggi sehingga mempunyai daya saing, baik di lingkungan nasional maupun global. Kompetensi organisasi dapat dicapai jika organisasi memiliki culture yang baik, selalu berorientasi pada customer dan selalu inovatif untuk memenuhi harapan konsumen. Jika hal tersebut dimiliki oleh organisasi maka kinerja organisasi akan menjadi baik pula.

Untuk itu, penelitian ini mencoba mengetahui bagaimana pengaruh Corporate Culture, Customer Orientation dan Corporate Innovativeness terhadap Corporate Performance dengan mengambil studi kasus pada PT X di Surabaya yang merupakan salah satu perusahaan properti terbesar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Corporate Culture dan Customer Orientation berpengaruh terhadap Corporate Performance, sedangkan Corporate Innovativeness tidak berpengaruh terhadap Corporate Performance pada PT X di Surabaya.
Unduh di
Makalah 25_231_242 Veny

BUDAYA KUALITAS SEBAGAI KUNCI PERSAINGAN DI ERA GLOBAL DAN ABAD KUALITAS
Drs. Psi. Seger Handoyo, MSi, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Total Quality Management: Efektifkah?
Di Indonesia Total Quality Management telah menjadi praktek manajemen sejak akhir tahun 1980 atau awal tahun 1990. Praktek manajemen yang didasarkan pada teori Deming (1986), Crosby (1979), Juran dan Gyrna (1993), Feigenbaum (1985), Ishikawa (1985) dan yang lainnya mendapatkan tempat yang tinggi di perusahaan-perusahaan di seluruh dunia. Bagaimanapun setelah sekitar duapuluh tahun dipraktekkan, efektivitas praktek tersebut mulai dipertanyakan. Perdebatan tentang efektivitas Total Quality Management terus berlanjut sampai saat ini. Perdebatan itu tetap menarik karena masing-masing mendasarkan pendapatnya dari fakta-fakta empiris penelitiannya. Berikut ini adalah beberapa hasil penelitian dari masing-masing sisi kontroversial.

Pendapat yang menyatakan bahwa Total Quality Management banyak mengalami kegagalan dalam meningkatkan daya saing perusahaan dan peningkatan kualitas antara lain adalah Arthur D. Little dalam surveynya terhadap 500 perusahaan, yang menyimpulkan hanya 36% perusahaan yang menyatakan bahwa TQM telah bermakna meningkatkan kemampuannya bersaing; A.T. Kearney dalam surveynya terhadap 100 perusahaan di Inggris, yang memperoleh hasil bahwa hanya 20% perusahaan yang percaya bahwa program kualitasnya telah mencapai hasil nyata; dan MCKinsey, dkk. dalam studinya terhadap 30 program kualitas, yang mendapatkan hasil bahwa dua pertiga mengalami kegagalan.

Pendapat sebaliknya menyatakan bahwa Total Quality Management efektif dalam meningkatkan kualitas produk. Hasil studi yang mendukung pendapat tersebut adalah studi Hendricks & Singhal terhadap 600 pemenang quality award, yang menyatakan bahwa TQM telah meningkatkan kinerja keuangan secara dramatik; Efektivitas teknik manajemen kualitas ditunjukkan oleh fakta pada perusahaan-perusahaan seperti Motorola, Xerox, dan Ford Motor Company. Program manajemen kualitas perusahaan-perusahaan tersebut telah berhasil, tidak hanya meningkatkan kualitas produk dan jasa, dalam hal konsistensi, kinerja, ketepatan waktu, kekuatan, tetapi juga meningkatkan kemampuan daya saing dan kinerja keuangannya (Krishnan dkk., 1993); dan studi Sohal (1998), yang manyatakan bahwa Praktek manajemen kualitas lebih luas di negara-negara timur dibandingkan di negara-negara barat. Teamwork dan trust ditunjuk sebagai elemen kunci dalam budaya yang menyebabkan perbedaan tersebut. Hasilnya adalah keberhasilan perusahaan-perusahaan di Asia, khususnya di Jepang, Korea selatan, Singapora, dan Taiwan yang mengagumkan.

Diantara dua pendapat yang kontroversial tersebut, beberapa peneliti tertarik untuk melihat mengapa ada perusahaan yang berhasil mengimplementasikan Total Quality Management, sementara yang lain gagal mendapatkan hasil yang memuaskan. Sebagian peneliti sampai pada dugaan bahwa budaya menjadi faktor penentu keberhasilan praktek Total Quality Management (Dean and Evans, 1994; Develin and Partner, 1989; Scazzero and Stansfield, 1994; Abraham, Crwford, and Fisher, 1999).
Unduh di
Makalah 26_243_253 Seger

BUDAYA PERUSAHAAN PT BANK SWASTA “X”
Rufus Patty Wutun, Pasca Sarjana PIO Universitas Indonesia

Latar Belakang
Setelah para pimpinan dari sejumlah negara menandatangani kesepakatan perdagangan (AFTA, APEC, NAFTA), lembaga-lembaga perekonomian di Indonesia sibuk mempersiapkan diri memasuki era perdagangan pasar bebas yang ditandai oleh situasi ketidakpastian, kompetisi meningkat pesat, beraneka produk tersedia, dan memungkinkan konsumen sangat rasional dalam memilih produk yang dibutuhkan. Sementara, kondisi di dalam negeri terus dilanda oleh memburuknya ekonomi nasional dan moneter serta krisis di bidang politik, hukum dan moral cukup memprihatinkan. Belum lagi, penerapan restrukturisasi di sektor perbankan nasional mengakibatkan kesulitan dan keterbatasan pengucuran kredit karena tingkat suku bunga bank menjadi tinggi dan kurang menguntungkan bagi para pengusaha di sektor perbankan nasional.

PT Bank X sebagai salah satu bank sehat dari sejumlah bank swasta nasional sedang siap memasuki ajang kompetisi yang ketat berbasis pada growth dan daya saing. Untuk menghadapi persaingan diperlukan berbagai upaya pem-benahan pada berbagai aspek agar mampu memenuhi kualitas standar daya saing internasional. Tantangan dan persaingan memicu motivasi PT Bank X Tbk untuk meninjau ulang berbagai kekuatan dan kelemahannya dan kemudian mencari solusi-solusi yang perlu dilakukan untuk meningkatkan dinamisasi, fleksibilitas, dan adaptasi perusahaan serta lebih responsif terhadap berbagai perubahan eksternal yang muncul.

Dengan perkataan lain, Bank X diharapkan mampu menciptakan ling-kungan kerja yang lebih kondusif bagi pengembangan pengembangan inisiatif, kreativitas, dan motivasi, bersemangat dan bekerja keras serta lebih aktif berpar-tisipasi dalam seluruh aktivitas dan proses bisnis untuk mendukung optimalisasi performansi kolektif yang lebih memuaskan. Upaya pengembangan kualitas SDM perlu terus dilakukan. Bennis (1996) menegaskan bahwa bisnis yang kekurangan dana dapat dipinjam, teknologi yang kurang canggih dapat dilengkapi dengan cara mendatangkannya, dan bisnis yang kurang tepat wilayah operasi dapat dipin-dahkan, akan tetapi bisnis yang kekurangan mutu sumberdaya manusia tidak dengan mudah dapat digantikan. Karena itu, upaya penelaahan terhadap budaya perusahaan penting dan perlu untuk dilakukan. Dengan mengetahui ciri-ciri budaya perusahaan saat ini, upaya pengembangan ke arah pencapaian visi dan misi perusahaan lebih mudah untuk dilakukan.

Studi budaya perusahaan di PT Bank X dilakukan dengan tujuan untuk memotret, mengidentifikasi, dan menjelaskan profil-profilnya yang meliputi profil nilai-nilai, dan praktik-praktik yang sering organisasi lakukan baik untuk menata integrasi internal maupun melakukan adaptasi eksternal dalam menghadapi berbagai perubahan dan tantangan eksternal. Dengan demikian, lingkup studi budaya perusahaan PT Bank X Tbk meliputi nilai-nilai perusahaan, dan praktik-praktik yang sering dilakukan perusahaan dalam mengelola seluruh aktivitas bisnisnya. Hal-hal tersebut akan dibahas secara ringkas sebagai berikut.
Unduh di
Makalah 27_254_268 Rufus

STUDI ARTI KERJA DAN RELASINYA TERHADAP JOB FIT: SUATU STUDI KOMPARATIF ANTARA MANAJER INDONESIA DAN NON INDONESIA (CHINA) DI TIGA KOTA BESAR BANDUNG, BANJARMASIN DAN PALEMBANG
Dr. H. M. Kusman, MBA, Magister Manajemen Universitas padjadjaran

Abstrak
Studi banding antara manajer-pengusaha Indonesia (pribumi) dan Tionghoa (non-pribumi) di Bandung, Banjarmasin dan Pelembang dalam hal Arti Kerja (Meaning of Working) dilatar-belakangi indikasi Boeke dan Kuntjaraningrat bahwa pengusaha Indonesia bersikap kurang baik terhadap kerja, dan kenyataan perusahaan Tionghoa umumnya maju dibanding perusahaan milik pribumi. Studi ini dimaksudkan untuk menemukan apakah periode pembangunan mampu mendekatkan kedua kelompok dalam pandangan mengenai kerja dan kecocokan kerja manajerial (job-fit).

Tiga Indeks Arti Kerja dari studi internasional: Sentaritas Kerja – Norma Kerja – Hasil dan Tujuan-Kerja – telah diukur menggunakan ranking pada skala-Likert dan forced distribution. Data ditransformasi ke skor standar-T dan diklasifikasi ke Indeks Arti Kerja dengan menggunakan analisis faktor dari Nie-Hull. Analisis diskriminan, digunakan untuk membandingkan dua kelompok. Dan T-test dan F-test atas skor diskrepensi harapan dan realita digunakan dalam menguji job-fit.

Temuan tiadanya perbedaan kedua kelompok khususnya dalam Sentralitas Kerja, Orientasi Income, dan Aspekerja Ekspresif, menyimpulkan tidak lagi dapat diterima seluruhnya anggapan bedanya orientasi kerja pengusaha pribumi dari pengusaha non-pribumi. Temuan rendahnya perasaan Kewajiban dan Ketergantungan kelompok non-pribumi dapat diindikasikan karakteristik penyebab keberhasilan kelompok ini

T-test atas skor diskrepensi persepsi dan harapan kerja dalam uji hipotesis tingkat managerial fit membuktikan rendahnya kelompok pribumi dibandingkan kelompok non-pribumi dalam Variasi Kerja, Kesempatan Pembelajaran, Potensi Kemajuan Usaha, Aspek kerja Intrinsik, dan Upaya Mental.

Pengecekan klasifikasi hasil analisisi diskriminan untuk memvalidasi dan menganalisis homogenitas menemukan kelompok pribumi berada di posisi marginal dan kelompok non pribumi di tinggi sekali menunjukkan perbedaan mereka dilihat dari keutuhan managerial job fit.
Kata Kunci: Arti Kerja (MOW) – sentralitas kerja – norma kerja – hasil kerja – tujuan kerja – managerial job fit.
Unduh di
Makalah 28_269_275 Kusman

MANAGERIAL SELF-EFFICACY AND SEX-ROLE IDENTITY AS MEDIATORS OF SEX DIFFERENCES IN MOTIVATION TO MANAGE
Eka Adityawati, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Statement of the Problem
Miner in 1973:
– suggested that the substantial increase in the percentage of managers, along with worrisome shortages of managerial talent at that time, necessitated study of aspect that might explain motivation to manage.
– studies shows that career self efficacy predict career motivation
– studies also shows that sex role identity predicts career motivation. Masculinity predict career motivation in male dominated careers, including managerial career, Femininity predicts female dominated career.
Miner in 1965:
– motivation to manage is described as an inner force that drives certain people to favor, derive satisfaction from, and succeed in managerial positions in large, hierarchical organizations.
– measured by an instrument known as the Miner Sentence Completion Scale (MSCS).
– motivation to manage is a valid and useful construct that predicts managerial success

The primary purpose of this study: to identify factors that increase our understanding of factors that might predict motivation to manage
Unduh di
makalah 29_276_285 eka

PROGRAM PENDAMPINGAN KARYAWAN (EMPLOYEE ASSISTANCE PROGRAMME) : SALAH SATU ALTERNATIF UNTUK MEMBANTU PENGEMBANGAN KOMPETENSI INDIVIDU DAN ORGANISASI
L. Verina H. Secapramana, Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

Abstrak
Perhatian terhadap manusia menjadi salah satu isu dari globalisasi. Perusahaan perlu membangun kompetensi dalam bidang organisasi, manusia dan budaya, serta manajemen dan kepemimpinan. Peran dari organisasi adalah untuk mendukung proses pemberdayaan manusianya melalui peningkatan pendidikan kesehatan mental, konseling, dan berbagai pelayanan informasi lain kepada karyawan sebagai asset organisasi. Program pendampingan karyawan adalah suatu fasilitas konseling bagi seluruh jajaran karyawan yang diprakarsai oleh Ford Motor Company pada tahun 1914. Dari survey terhadap masalah karyawan ditemukan adanya hubungan antara masalah karyawan dengan perilaku organisasi. Bila pada awalnya program ini berfungsi untuk membantu karyawan dalam menangani masalahnya hingga pemberian konseling dan terapi bagi yang membuuthkan, maka dalam perkembangannya kemudian program ini dihubungkan dengan kinerja karyawan, praktek manajemen dan gaya kepemimpinan, pelatihan bagi supervisor, dan untuk mendukung karyawan dari seluruh jajaran. Pada akhirnya hasil dari program ini akan mengarah pada produktivitas yang lebih tinggi dan perolehan profit yang lebih besar bagi perusahaan.
Unduh di
makalah 30_286_293 Verina

KAJIAN SOSIOPSIKOLOGIS DETERMINAN PERILAKU PRODUKTIF PENGUSAHA KECIL JAWA BARAT (SUNDA) GUNA MEMPERSIAPKAN SDM GLOBAL
Yus Nugraha, Fakultas Psikologi Unpad, Bandung

Abstract
Krisis ekonomi berdampak luas pada perusahaan besar yang tergantung pada komponen impor. ‘Blessing in disguise’ justru pada pengusaha kecil yang tetap bertahan (survive). Keberhasilan ini ditentukan antara lain oleh orientasi nilai budaya dan karakteristik psikologis yang merupakan faktor yang mendasari perilaku keberhasilan seorang pengusaha. Kajian ini mengkhususkan pada nilai budaya Priangan yang telah diinternalisasikan oleh para pengusaha industri kecil dan membentuk kondisi sosio-psikologis yang mewarnai perilaku kerja produktif dalam berusaha. Penelitian dilakukan di Bandung, Cianjur, Sumedang, Garut, dan Tasikmalaya melalui teknik purposive. Indikator perilaku produktif berdasarkan dimensi psikologis (Schermerhorn, 1996) terdiri atas locus of control, energy level, need of achievement, tolerance for ambiguity, self confidence and action oriented dan dimensi sosio budaya (Kluckhon, 1961) terdiri dari hakekat hidup, hakekat karya, persepsi tentang waktu, pandangan tehadap alam dan hakekat hubungan antar manusia dan sesamanya; Dalam mengembangkan usahanya, cenderung tunduk kepada alam, sebenarnya mereka memiliki hasrat untuk dapat menguasai alam, hanya saja dengan keterbatasan pengetahuan dan pendidikan, sehingg lebih banyak menyerah kepada keadaan alam yang ada. Mereka memiliki hakekat hidup yang cukup ideal, tetapi terbatas hanya untuk bisa bertahan hidup dan menghidupi keluarganya. Pada umumnya kurang percaya diri, ragu-ragu dan lambat dalam mengambil keputusan, namun memiliki energy level yang cukup ideal. Dalam berusaha lebih menggantungkan diri pada keberuntungan nasib dan lebih banyak digerakkan oleh faktor luar dan bukan berasal dari hasrat, minat, dan dorongan dirinya sendiri, dengan demikian locus of controlnya cenderung eksternal. Mereka rentan terhadap situasi yang tidak menentu dan sulit untuk berubah.

Rumusan model pelatihannya adalah mengembangkan dan mengubah cara pandang/paradigma dalam berusaha, mengembangkan Wawasan Pengembangan Kepribadian, Proses Penetapan Tujuan, Perencanaan usaha (business plan) serta proses pengambilan keputusan.
Unduh di
makalah 31_294 Yus

KEBERPIKIRAN KUANTUM DALAM KEPEMIMPINAN DAN PERSAINGAN
Bul Penyami B.A.(Ed), M.B.A., Leadership & Creativity Center – Universitas Pelita Harapan

Keberpikiran kuantum adalah ranah berpikir yang tertinggi yang perlu dicapai untuk dapat memimpin secara efektif, dan untuk dapat bersaing dengan benar dan berhasil dalam segala segi kehidupan.

Paparan ini hanya membahas keberpikiran dan tidak membahas kepemimpinan atau persaingan. Namun demikian kiranya perlu disebutkan bahwa kepemimpinan yang dimaksud adalah kepemimpinan berdasarkan nilai-nilai -values based leadership- (Kuczmarski & Kuczmarski, 1995)) dan kepemimpinan yang berorientasi kepada hasil -result oriented leadership-(Ulrich et al, 1999). Dengan menyebutkan kedua jenis kepemimpinan tersebut, maka persaingan yang dimaksud dalam paparan ini adalah persaingan yang harus berhasil dan tetap benar, bukanlah persaingan yang mau menerima kegagalan, dan bukan juga persaingan yang kotor yang tidak etis. Dalam keberpikiran kuantum, kepemimpinan dan persaingan dipahami sebagai solution finding yang ethical imperative ( John Dalla Costa, 1998).
Unduh di
makalah 32_295_300 Bul Penyami

Leave a comment